Selasa, 26 Januari 2016

KECERDASAN SAHABAT MENULIS KATA MI'AH ( مائة )

Sejak kecil saya sangat penasaran, "Kenapa kok kata مائة tulisannya ada alifnya padahal ia tidak dibaca?". Alhamdlillah, akhir-akhir ini saya mulai faham kenapa kok ditulis demikian dalam Al Qur'an. Bahkan darisini saya mengagumi kecerdasan dan kehebatan para sahabat para pemulis Al Qur'an Ra di dalam mengumpulkan bacaan yang berbeda-beda dalam satu kata sebagia isyarat.

Sebelum saya paparkan, saya ingin membuat 2 kesimpulan dulu sebagaimana pada tulisan sebelumnya:
1. Alif pada kata مائة ada kaitannya dengan perubahan baca dalam ilmu qiroat
2. Ada 2 pendapat yang mengatakan, bahwa penulisan Al Qur'an tauqifi (perintah nabi) dan taufiqi (ijtihad)

Tapi kali ini saya tidak akan terlalu fokus pada 2 hal tersebut karena pada tulisan yang lalu pernah saya bahas. Saya ingin lebih fokus kenapa kok pake alif? Kok bukan Ya' saja mengikut harakat kasroh pada mim sebelumnya?

Dalam ilmu tajwid kita mengenal kaedah mad thobii berikut:
- Jika sebuah huruf berharakat dhommah maka huruf madnya adalah wau.
- Jika sebuah huruf berharakat fathah maka huruf madnya adalah alif
- Jika sebuah huruf berharajat kasroh maka huruf madnya adalah ya'
Contoh dari ketiga qaedah diatas bisa didapati pada kalimat Al Qur'an: نُوْحِيْهَا

Ok, saya mulai...

1. Kenapa kok harus ada alif padahal ia tak dibaca?
Sekali lagi, bahwa Ini berkaitan dengan ilmu Qiraat. Imam abu Ja'far membaca kata مائة (baca: mi ah) dengan (miyah), hamzah dirubah ya' total. Sedangkan Imam Hamzah membacanya juga sama (miyah) namun ketika waqaf saja.

2. Kenapa kok gak ditulis مِيَةْ saja langsung biar bisa dibaca?
Iya, karena dalam kata ini ada perbedaan baca. Imam Ashim (bacaan kita sehari-hari) membacanya: Mi ah. Untuk menggabungkan 2 cara baca antara "Mi ah & Miyah" inilah maka para sahabat kala itu dengan kecerdasannya merumuskan,  "Bagaimana caranya 1 kata dapat memberi pengertian ada 2 bacaan?".

Andai para sahabat menulis demikian مئة atau demikian مية niscaya akan difahami bahwa Al Qur'an turun hanya dalam satu bahasa saja.

3. Lah, kok huruf yang dijadikan pembeda bacaan ا (alif) bukan و (wau) atau ي (ya') saja?
Memakai alif karena huruf setelah alif adalah hamzah yang berharakat fathah ( مائَة ). Karena fathah identik dengan alif sebagamana qaidah mad diatas, maka aliflah yang menjadi pilihan sahabat Ra.

Andai kata yang digunakan adalah ya' demikian ميئة maka akan terjadi perubahan bacaan yaitu mad wajib 4 harakat, sebagaimana pada kata سِيْءَ (si i i i a) karena syarat terjadinya mad 4 harakat adalah huruf mad ( ا و ي ) bertemu dengan hamzah setelahnya. Namun para sahabat tidak memakainya karena bacaan yang ditalaqqikan dan diajarkan nabi Saw berbunyi "Mi ah" dan "Miyah" tanpa memanjangkannya.

Adapun kenapa kok bukan wau (و), maka jawabannya sangat jelas, karena wau tidak ada keidentikan sama sekali dengan huruf sebelum atau sesudahnya. Sebagaimana qaidah mad diatas, wau hanya identik dengan dhommah, sedangkan dalam kata مائة tidak ada satupun huruf yang di dhommah.

4. Kok para sahabat lebih mengedepankan penulisan yang menggunakan hamzah مائة daripada yang ya' مية ?
Iya, sebagaimana perintah Khalifah Ustman Bin Affan kepada Zaid Bin Tsabit:

وقد ثبت في الصحيح عن عثمان أنه قال للرهط القرشيين الذين كتبوا المصحف هم وزيد : إذا اختلفتم في شيء فاكتبوه بلغة قريش

Artinya: "Jika kalian mendapati perbedaan dalam sesuatu (cara penulisan Al Qur'an) maka tulislah dengan bahasa Quroys.

Nabi Saw adalah orang Quroys, beliau mengucapkan مائة dengan jelas "Mi ah" bukan "Miyah". Oleh karena sebab perintah ini hamzah tersebut di proiritaskan dan tetap diadakan dalam tulisan مائة . Adapun ya' tidak disertakan, cukup huruf alif menjadi tanda perbedaanya sebagaimana di paparkan diatas.

Mohon koreksi dan tambahan
Wallahu A'lam

Salam Hormat & cinta
Mochamad Ihsan Ufiq​
Doha, 7 November 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar