Selasa, 26 Januari 2016

BERTAJWID VS HAFAL AL QUR'AN, MANA DULU?

"Lebih baik saya mengaji dengan bertajwid sempurna 100% tapi gak hafidz daripada hafidz namun tajwidnya acakadul-amburadul". Ungkapan ini yang saya simpulkan dari tausiyah ustadz-ustadz agama.

Alasannnya bahwa hukum mengaji bertajwid adalah fardhu ain bagi pembaca. Sedangkan hafal Al Qur'an hukumnya kesunnahan yang sangat dianjurkan melihat kemuliaannya yang sangat besar. Ada juga ulama yang mengatakan hukumnya fardhu kifayah. Namun tetap saja hukumnya tidak wajib ain atau berdosa jika ditinggalkan. Hanya sebatas merugi saja akan pahala yang melimpah.

Kesimpulannya : fardhu ain VS sunnah muakkad jiddan maka yang darurat didahulukan adalah fardhu ain.

Lumayan sering saya di minta tolong orang tua anak-anak, baik arab atau non arab, "Mas,  tolong! ada waktu buat tahfidz anak saya nggak?". Pas anaknya saya dengar ngaji tajwidnya masih belepotan tidak memenuhi standart baca.

Mau mereka, saya mentalqin baca lalu anaknya menirukan sampai hafal. Namun cara menghafal seperti ini (tanpa mengaji tajwid yang diprioritaskan) akan merugikan kedua belah fihak:

1. Gurunya capek mengulang-ulang tanpa ada hasil yang memuaskan, apalagi anaknya lemah hafalan, banyak main dan susah diatur.
2. Anak akan menjadi ketergantungan mengaji. Kalau gak ada gurunya males ngaji dan mengulang karena gak bisa baca.
3. Ngaji hanya terbatas yang sudah dihafal bareng gurunya saja. Di minta buka surat lain kelabakan gak bisa baca.
3. Kalau tajwid tidak di prioritaskan sejak dini  (ala kadarnya, banyak hafal saja) ketika dewasa akan terbiasa baca amburadul, susah memperbaikinya.

"Wah, itu keadaan diri saya sejak kecil sampai dewasa, gimana mas,  dosa dong saya meninggalkan fardhu ain?"

Jawab: tidak ada dosa jika bertaubat dan segera mencari guru ngaji sekarang juga dan terus belajar tanpa lelah (jalan saja). Yang dosa itu jika masa bodoh, "Biarin, meski gak seberapa benar tajwid saya, saya masih bisa baca lancar kok,  bahkan 1 juz bisa saya baca 15-20 menit saja".

Kecuali jika kita sudah cari guru yang bisa ngajar tajwid, namun gak nemu-nemu. Dalam keadaan ini kita dimaafkan. Tapi kalau menonjolkan rasa gengsi saja, seperti:

- Udah tua, udah beruban rambut saya, gak pantes ah kalau ngaji lagi.
- Saya profesor, doktor punya umat banyak masak harus ngaji idghom, ghunnah dll lagi ke anak ingusan lahir kemarin sore itu?
- Saya udah hafidz lancar,  sering undangan ngaji kemana-mana, masak balik tajwid lagi, malu ah. Apa kata orang?
- Atau banyak alasan lain, intinya gak sudi atau gengsi memperbaiki bacaan saja

Dalam hal ini, harapannya semoga Allah Swt membebaskan kita dari murkanya saja. Yang jelas, jangan sampai berkesimpulan demikian, "Halaaah,  intinya ngaji lancar,  tajwid gak wajib, gak perlu belajar lagi, udah bisa ngaji kok".

Mohon koreksi dan tambahan atas kekurangan dan kesalahan

Salam persaudaraan dan perdamaian
Mochamad Ihsan Ufiq​
Doha, 14 Desember 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar